Kamis, 02 Juni 2011

PEMIKIRAN ABU UBAID


A.H.Ridwan
1. Riwayat Hidup
            Abu Ubaid beranama lengkap Al-Qasim bin sallam bin miskin bin zaid Al-azadi Al-Baghdadi.ia lahir pada tahun 150 H dikota Harrah,Khurasan,sebelah barat laut Af-ghanistan. Ayahnya keturunan Byzantium yang menjadi maula suku Azad.setelah memproleh ilmu yang memadai di kota kelahirannya, pada usia 20 tahun, Abu Ubaid pergi berkelana untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kupah, Basrah dan Baghdad. Ilmu ilmu yang dipelajarinya antara lain mencakup ilmu tata bahasa arab, qira.at, tafsir, hadis, dan fikih. Pada tahun 192 H, Tsabit ibn Nasr ibn Malik, Gubernur Thugur di masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rashid, mengangkat Abu Ubaid sebagai qadi (hakim) di Tarsus hingga tahun 210 H setelah itu,penulis kitab al-Anwal ini tinggal di Baghdad selama 10 tahun 219H, setelah berhaji, ia menetap di Makkah sampai wafatnya. Ia meninggal pada tahun 224 H.

2. Latar Belakang Kehidupan dan Corak Pemikiran
            Abu Ubaid merupakan seorang ahli hadis (muhaddits) dan ahli fikih (fuqaha) termuka dimasa hidupnya. Selama menjabat qadi di Tarsus, ia sering menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan serta menyelesaikan dengan sangat baik. Alih bahasa yang dilakukannya terhadap kata –kata dari bahasa Parsi ke bahasa arab juga menunjukan bahwa Abu Ubaid sedikit banyak menguasai bahasa tersebut.
            Karena sering terjadi pengutipan kata-kata Amr dalam kitab al-Amwal, tampaknya, pemikiran-pemikiran Abu Ubaid dipengaruhi oleh Abu Amr Abdurrahman ibn Amr Al-Awza,i serta ulama-ulama suriah  lainnya semasa ia menjadi qadi di tarsus. Kemungkinan ini, antara lain, dapat ditelusuri daripengamatan yang dilakukan Abu Ubaid terhadap permasalahan militer,politik dan fiskal yang dihadapi pemerintah daerah Tarsus
            Berbeda halnya dengan Abu Yusuf, Abu Ubaid tidak menyinggung tentang masalah kelemahan sistem pemerintahan serta penanggulangannya. Namun demikian, kitab al-Kharaj dalam hal kelengkapan hadis dan pendapat para sahabat, tabi,in dan tabi,it tabi,in. Dalam hal ini, fokus perhatian Abu Ubaid tampaknya lebih tertuju pada permasalahan yang berkaitan dengan standar etika politik suatu pemerintahan dari pada teknik efisiensi pengelolaanya. Sebagai contoh, Abu Ubaid lebih tertarik membahas masalah keadilan redistributif dari sisi “apa” dari pada “bagaimana”.
            Filosopi yang dikembangkan Abu Ubaid pandangan mengedepankan yang bersipat holistic dan teologis terhadap kehidupan manusia didunia dan akhirat, baik yang brsifat individual maupun sosial. Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang cendekiawan Muslim terkemuka pada awal abad ke tiga Hijriah (abad kesembilan masehi) yang menetapkan revitalisasi sistem perekonomian berrdasarkan Al,qur,an dan Hadis melalui reformasi dasar_dasar keuangan dan institusinya. Dengan kata lain, ini dalam pemikiran Abu Ubaid.

3.  Isi, Format dan Metodologi Kitab al_Amwal
            Kitab al-Amwal dibagi kedalam beberapa bagian dan bab yang tidak proporsional isinya. Pada bab pendahuluan, Abu Ubaid secara singkat membahas hak dan kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya serta hak dan kewajiban rakyat terhadap pemerintahnya, dengan studi ksusus mengenai kebutuhan terhadap suatu pemerintah yang adil. Pada bab selanjutnya yang merupakan bab pelengkap, kitab ini menguraikan tentang berbagai jenis pemasukan negara yang dipercayakan kepada penguasa atas nama rakyat serta berbagai landasan hukumnya dalam Alquran dan Sunnah. Dalam bab ini, Abu Ubaid memberikan pioritas pada pandangan negara yang menjadi hak Rasululoh.
            Dalam hasil penelaahan singkat tersebut, tampak bahwa kitab al-Amwal secara khusus mempokuskan perhatiannya pada masalah keuangan publik (public finance) sekalipun mayoritas materi yang ada didalamnya membahas permasaalahaan administrasi pemerintahan secara umum. Kitab al-Amwal menekankan beberapa isunmengenai perpajakan dan hukum pertanahan sertya hukum pertahanan serta hukum administrasi dan hukum internasional. Oleh karena itu, pada dua abad pertama sejak islam diturunkan, kitab ini menjadi salah satu referensi utama tentang pemikiran hukum ekonomi dikalangan para cendekiawan muslim
            Secara umum, pada masa hidup Abu Ubaid, pertanian dipadang sampai sektor usaha yang paling baik dan utama karna menyediakan kebutuhan dasar, makanan dan juga merupakan sumber utama pendapatan negara. Hal ini menjadikan masalah perbaikan sektor pertanian menjadi isu utama, bukan masalah pertumbuhan ekonomi dalam pengertian modern. Oleh karena itu, Abu Ubaid mengarahkan sasarannya pada persoalan legitimasi sosio-politik-ekonomi yang setabil dan adil.
            Walaupun merupakan sebuah kompendium yang mayoritas isinya adalah Hadis Nabi, Kitab al-Amwal memberikan informasi penting mengenai kesuksesan suatu pemerintahan dalam menerapkan berbagai kebijakannya, seperti pemerintahan khalifah  Umar ibn Khattab yang berhasil membangun dasar-dasar sistem perpajakan dan pemerintahan Khalifah Umar ibn Abdul aziz yang berhasil memperbaiki serta menata ulang sistem perpajakan yang telah sekian lama rusak.
            Jika merujuk pada format dan metodologi Kitab al-Amwal, di dalam setiap bab, Abu Ubaid menampilkan berbagai ayat, hadis nabi serta pendapat para sahabat dan tabi’in bersama- sama dengan pendapat para fukaha. Dalam hal ini, sesuai dengan kepastiannya sebagai seorang muhaddits, Abu Ubaid melakukan serangkaian penelitian terhadap hadis-hadis, baik dari sisi sanad maupun matan. Di sisi lain, kadang kala ia melakukan penyingkatan beberapa riwayat serta memeberikan interprestasinya berbagai pengganti teks tersebut. Ia juga membahas beberapa hal yang masih diragukan serta menjelaskan berbagai istilah asing jika ada. Kadang kala ia mengklasifikasikan isu-isu serta memberikan berbagai hadis yang terkait. Di bagian lain, ia mengelompokan hadis-hadis tersebut.
            Namun demikian, ada beberapa bab yang halnya terdiri dari sekumpulan hadits  yang tidak disertai suatu komentar atau pembahasan papun. Menurut salah seorang murid Abu Ubaid, Ibrahim Al-Harbi, Kitab al-Amwal merupakan karya Abub Ubaid hanya menuliskan hadits-hadits yang sangat relevan, karena dalam beberapa kesempatan ia menyebutkan terdapat hadis-hadis lain yang berjumlah lebih banyak dari pada yang ia telah bahas.
            Disamping seorang ahl-ar-ra’y. Dalam setiap isu, Abu Ubaid  selalu mengacu pada hadits-hadits serta interpretasi dan pendapat para ulama yang terkait, kemudian melakukan kritik terhadap kekuatan ataupun kelemahannya. Setelah itu, ia akan memilih salah satu pendapat yang ada.
            Abu Ubaid sering dianggap sebagai seorang mujtahid yang indipenden karna kehandalannya dalam melakukan suatu karya yang sitematis tentang kaidah kaidah keuangan (financial maxims) terutama yang berkaitan dengan perpajakan, pada masa awal pembentukan mazhab-mazhab.
            Selain itu Abu Ubaid lebih mengutamakan hadits yang datang terakhir secara kronologis dari pada yang datang sebelumnya. Abu Ubaid mengatakan bahwa keumuman suatu hadis hanya dapat ditakhsis (dispesifikasi) dengan hadits yang lain, bukan dengan rasio seseorang. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa hadits dapat dibatalkan dengan hadits yang lain atau dengan ayat Alquran.
            Setelah Alquran dan Hadits, sumber hukum berikutnya yang digunakan oleh Abu Ubaid adalah ijma (kesepakatan umat). Kesimpulan hukum, terlihat bahwa Abu Ubaid sangat membatasi pengguna analoginya dalam rangka mengambil sebuah kesimpulan hukum jika hukum tersebut tidak secara eksplisit terdapat dalam Alquran dan Assunah. Dalam mengaji sebuah permasalahan yang menentukan ketentuan hukum, Abu Ubaid selalu memertimbangkan maqasid al-syariah dengan menempatkan manfaat bagi publik (al-maslahah al-ammah) sebagai penentu akhir. Di samping itu, ia memberikan ruang pada ta’amul (hukum adat atau tradisi) dalam menentukan suatu hukum.

4.  Pandangan Ekonomi Abu Ubaid
1.Filosopi Hukum dari Sisi Ekonomi
            Jika isi kitab al-Amwal dievaluasi dari sisi filosopi hukum, akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan berbagai perinsip utama. Bagi Abu Ubaid, pengimplementasikan dari prinsip-prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselaraan sosial. Pada dasarnya, Abu Ubaid memiliki pendekatan yang berimbang terhadap hak-hak individu, publik, dan negara; jika kepentingan indipidu berbenturan dengan kepentingan publik, ia akan berpihak pada kepentingan publik.
            Tulisan-tulisan Abu Ubaid  yang lahir pada keemasan Dinasti abbasiah menitikberatkan pada berbagai persoalan yang berkaitan dengan hak khalipah dalam mengambil suatu kebijakan atau wewenangnya dalam memutuskan suatu perkara kaum muslimin. Di samping itu Abu Ubaid juga menyatakan bahwa tarip pajak konstraktual tidak dapat dinaikan, bahwa dapat diturunkan apabila terjadi ketidakmampuan membayar. Lebih jauh, ia menyatakan jika bahwa seorang penduduk nonmuslim tersebut yang setara dengan jumlah utangnya akan di bebaskan dari bea cukai (duty-free) Disamping itu abu daud menekankan kepada satu sisi, petugas pengumpul kharaj, jizyah,ushur,atauzakat untuk tidak menyiksa masyarakatnya dan, dilain sisi, masyarakat agar memenuhi finasialnya secara teratur dan sepantasnya. Dengan perkataan lain, Abu Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau favoritisme.
            Pandangan Abu Ubaid yang tidak merunjuk pada tingkat kharaj yang ditetapkan oleh khalipah umar ataupun pengamatnya terhadap permasalahan yang timbul dari kebijakan peningkatan dan penurunan tingkat kharaj berdasarkan situasi dan kondisi, menunjukan bahwa Abu Ubaid mengadopsi kaidah fiqih “ia yunkaru taghayyiru al-fatwa bi taghayyurilazminati” (keberagamaan aturan atau hukum karena perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakan). Namun demikian baginya, keberagamaan tersebut hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu ijtihad.
2. Dikotomi Badui – Urban
            Pembahasan mengenai dikatomi badui-urban dilakukan Abu Ubaid ketika menyoroti alokasi pendapatan fai. Abu Ubaid menegaskan bahwa, bertentangan dengan kaum badui dan kaum urban(perkotaan):
         Ikut serta dalam keberlangsungan negara dengan berbagi kewajiban administratif dari semua kaum Muslim;
         Memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilitas jiwa dan harta mereka;
         Menggalakan pendidikan melalui proses ngajar-mengajar Alquran dan Sunnah serta penyebaran keunggulannya;
         Memberikan konstribusi terhadap keselaraan sosial melalui pembelajaran dan penerapan hudud;
         Memberikan contoh universalisme islam dengan shalat berjamaah.
            Singkatnya, di samping keadilan, Abu Ubaid membangun suatu negara islam berdasarkan administrasi, pertahanan, pendidikan, hukum, dan kasih sayang. Karakteristik tersebut diatas hanya diberikan oleh Allah Swt. Kepada kaum urban (perkotoran).disamping itu Abu Ubaid membedakan antara gaya hidup kaum badui dengan kultur menetap kaum urban dan membangun pondasi masyarakat Muslim berdasarkan martabat kaum urban, kerjasama dan komitmen dan kohesi sosial berorientasi urban, vertikal dan horizontal.
3.   Kepemilikan Dalam konteks Kebijakan Perbaikan Pertanian
            Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Dalam hal kepemilikan, pemikiran Abu Ubaid yang khas adalah mengenai hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian. Secara implisit Abu Ubaid mengemukakan bahwa kebijakan kepemerintahan, seperti iqta’ (enfeoffment) tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual atas tanah tandus yang disuburkan, sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian.
            Dalam pandangan Abu Ubaid, sumber daya publik, seperti air, padang rumput, dan apa tidak boleh dimonopolikan seperti hima’ (taman pribadi). Seluruh sumber daya ini hanya dapat dimasukan kedalam kepemilikan negara yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
4.   Pertimbangan Kebutuhan
            Abu Ubaid sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa pembagian harta zakat harus dilakukan secara merata diantara delapan kelompok penerima zakat dan cenderung melakukan suatu batas tertinggi terhadap bagian perorangan. Bagi Abu Ubaid, yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, seberapa pun besarnya, serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari bahaya kelaparan. Namun pada saat yang bersamaan, Abu Ubaid tidak memberikan hak penerimaan zakat kepada orang-orang yang memiliki 40 dirham atau harta lainnya yang setara,disamping baju,pakaian, rumah, dan pelayan yang dianggapnya sebagai suatu kebutuhan standar hidup minimum. Disisi lain, biasanya Abu Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham, yakni jumlah minimum yang terkena wajib zakat, sebagai orang kaya. Sehingga mengenekan kewajiban zakat terhadap orang tersebut. Oleh karena itu, pendeketan yang digunakan Abu Ubaid ini mengindikasikan adanya tiga kelompok sosios-ekonomi yang terkait dengan status zakat yang terkait dengan status zakat, yaitu; 
         Kalangan kaya yang terkena wajib zakat;
         Kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat,tetapi juga tidak berhak menerima zakat;
         Kalangan penerima zakat.
            Berkaitan dengan distribusi kekayaan melalui zakat, secara umum, Abu Ubaid mengadopsi prinsip “bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing masing” (li kulli wahidin hasba hajatihi). Lebih jauh, ketika membahas kebijakan penguasa dalam hal jumlah zakat (atau pajak) yang diberikan kepada para pengumpulnya (amil), pada prinsipnya, ia lebih cenderung pada prinsip “bagi setiap orang adalah sesuai dengan haknya”.
5.    Fungsi Uang
            Pada prinsipnya, Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang, yakni sebagai setandar nilai pertukaran (medium of exchange). Dalam hal ini, ia menyatakan:
       “Adalah hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apapun  kecuali keduanya meenjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah penggunaannya untuk membeli sesuatu (infak)”
            Pernyataan Abu Ubaid tersebut menunjukan bahwa ia mendukung teori konvensional mengenai uang logam, walaupun sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan perak tidak layak untuk apapun kecuali keduanya mejadi harga dari barang dan jasa.
            Salah satu ciri khas kitab al-Amwal diantara kitab-kitab lain yang membahas tentang keuangan publik (publik finance) Adalah pembahasan tentang timbangan dan ukuran, yang biasa digunakan dalam menghitung beberapa kewajiban agama yang barkaitan dengan harta atau denda, dalam satu bab khusus. Didalam bab ini, Abu Ubaid juga menceritakan tentang usaha khalifah Abdul Al-Malik ibn Marwan dalam melakukan setandarisasi dari berbagai jenis mata uang yang ada dalam sirkulasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar