Kamis, 02 Juni 2011

PEMIKIRAN ABU UBAID


A.H.Ridwan
1. Riwayat Hidup
            Abu Ubaid beranama lengkap Al-Qasim bin sallam bin miskin bin zaid Al-azadi Al-Baghdadi.ia lahir pada tahun 150 H dikota Harrah,Khurasan,sebelah barat laut Af-ghanistan. Ayahnya keturunan Byzantium yang menjadi maula suku Azad.setelah memproleh ilmu yang memadai di kota kelahirannya, pada usia 20 tahun, Abu Ubaid pergi berkelana untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kupah, Basrah dan Baghdad. Ilmu ilmu yang dipelajarinya antara lain mencakup ilmu tata bahasa arab, qira.at, tafsir, hadis, dan fikih. Pada tahun 192 H, Tsabit ibn Nasr ibn Malik, Gubernur Thugur di masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rashid, mengangkat Abu Ubaid sebagai qadi (hakim) di Tarsus hingga tahun 210 H setelah itu,penulis kitab al-Anwal ini tinggal di Baghdad selama 10 tahun 219H, setelah berhaji, ia menetap di Makkah sampai wafatnya. Ia meninggal pada tahun 224 H.

2. Latar Belakang Kehidupan dan Corak Pemikiran
            Abu Ubaid merupakan seorang ahli hadis (muhaddits) dan ahli fikih (fuqaha) termuka dimasa hidupnya. Selama menjabat qadi di Tarsus, ia sering menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan serta menyelesaikan dengan sangat baik. Alih bahasa yang dilakukannya terhadap kata –kata dari bahasa Parsi ke bahasa arab juga menunjukan bahwa Abu Ubaid sedikit banyak menguasai bahasa tersebut.
            Karena sering terjadi pengutipan kata-kata Amr dalam kitab al-Amwal, tampaknya, pemikiran-pemikiran Abu Ubaid dipengaruhi oleh Abu Amr Abdurrahman ibn Amr Al-Awza,i serta ulama-ulama suriah  lainnya semasa ia menjadi qadi di tarsus. Kemungkinan ini, antara lain, dapat ditelusuri daripengamatan yang dilakukan Abu Ubaid terhadap permasalahan militer,politik dan fiskal yang dihadapi pemerintah daerah Tarsus
            Berbeda halnya dengan Abu Yusuf, Abu Ubaid tidak menyinggung tentang masalah kelemahan sistem pemerintahan serta penanggulangannya. Namun demikian, kitab al-Kharaj dalam hal kelengkapan hadis dan pendapat para sahabat, tabi,in dan tabi,it tabi,in. Dalam hal ini, fokus perhatian Abu Ubaid tampaknya lebih tertuju pada permasalahan yang berkaitan dengan standar etika politik suatu pemerintahan dari pada teknik efisiensi pengelolaanya. Sebagai contoh, Abu Ubaid lebih tertarik membahas masalah keadilan redistributif dari sisi “apa” dari pada “bagaimana”.
            Filosopi yang dikembangkan Abu Ubaid pandangan mengedepankan yang bersipat holistic dan teologis terhadap kehidupan manusia didunia dan akhirat, baik yang brsifat individual maupun sosial. Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang cendekiawan Muslim terkemuka pada awal abad ke tiga Hijriah (abad kesembilan masehi) yang menetapkan revitalisasi sistem perekonomian berrdasarkan Al,qur,an dan Hadis melalui reformasi dasar_dasar keuangan dan institusinya. Dengan kata lain, ini dalam pemikiran Abu Ubaid.

3.  Isi, Format dan Metodologi Kitab al_Amwal
            Kitab al-Amwal dibagi kedalam beberapa bagian dan bab yang tidak proporsional isinya. Pada bab pendahuluan, Abu Ubaid secara singkat membahas hak dan kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya serta hak dan kewajiban rakyat terhadap pemerintahnya, dengan studi ksusus mengenai kebutuhan terhadap suatu pemerintah yang adil. Pada bab selanjutnya yang merupakan bab pelengkap, kitab ini menguraikan tentang berbagai jenis pemasukan negara yang dipercayakan kepada penguasa atas nama rakyat serta berbagai landasan hukumnya dalam Alquran dan Sunnah. Dalam bab ini, Abu Ubaid memberikan pioritas pada pandangan negara yang menjadi hak Rasululoh.
            Dalam hasil penelaahan singkat tersebut, tampak bahwa kitab al-Amwal secara khusus mempokuskan perhatiannya pada masalah keuangan publik (public finance) sekalipun mayoritas materi yang ada didalamnya membahas permasaalahaan administrasi pemerintahan secara umum. Kitab al-Amwal menekankan beberapa isunmengenai perpajakan dan hukum pertanahan sertya hukum pertahanan serta hukum administrasi dan hukum internasional. Oleh karena itu, pada dua abad pertama sejak islam diturunkan, kitab ini menjadi salah satu referensi utama tentang pemikiran hukum ekonomi dikalangan para cendekiawan muslim
            Secara umum, pada masa hidup Abu Ubaid, pertanian dipadang sampai sektor usaha yang paling baik dan utama karna menyediakan kebutuhan dasar, makanan dan juga merupakan sumber utama pendapatan negara. Hal ini menjadikan masalah perbaikan sektor pertanian menjadi isu utama, bukan masalah pertumbuhan ekonomi dalam pengertian modern. Oleh karena itu, Abu Ubaid mengarahkan sasarannya pada persoalan legitimasi sosio-politik-ekonomi yang setabil dan adil.
            Walaupun merupakan sebuah kompendium yang mayoritas isinya adalah Hadis Nabi, Kitab al-Amwal memberikan informasi penting mengenai kesuksesan suatu pemerintahan dalam menerapkan berbagai kebijakannya, seperti pemerintahan khalifah  Umar ibn Khattab yang berhasil membangun dasar-dasar sistem perpajakan dan pemerintahan Khalifah Umar ibn Abdul aziz yang berhasil memperbaiki serta menata ulang sistem perpajakan yang telah sekian lama rusak.
            Jika merujuk pada format dan metodologi Kitab al-Amwal, di dalam setiap bab, Abu Ubaid menampilkan berbagai ayat, hadis nabi serta pendapat para sahabat dan tabi’in bersama- sama dengan pendapat para fukaha. Dalam hal ini, sesuai dengan kepastiannya sebagai seorang muhaddits, Abu Ubaid melakukan serangkaian penelitian terhadap hadis-hadis, baik dari sisi sanad maupun matan. Di sisi lain, kadang kala ia melakukan penyingkatan beberapa riwayat serta memeberikan interprestasinya berbagai pengganti teks tersebut. Ia juga membahas beberapa hal yang masih diragukan serta menjelaskan berbagai istilah asing jika ada. Kadang kala ia mengklasifikasikan isu-isu serta memberikan berbagai hadis yang terkait. Di bagian lain, ia mengelompokan hadis-hadis tersebut.
            Namun demikian, ada beberapa bab yang halnya terdiri dari sekumpulan hadits  yang tidak disertai suatu komentar atau pembahasan papun. Menurut salah seorang murid Abu Ubaid, Ibrahim Al-Harbi, Kitab al-Amwal merupakan karya Abub Ubaid hanya menuliskan hadits-hadits yang sangat relevan, karena dalam beberapa kesempatan ia menyebutkan terdapat hadis-hadis lain yang berjumlah lebih banyak dari pada yang ia telah bahas.
            Disamping seorang ahl-ar-ra’y. Dalam setiap isu, Abu Ubaid  selalu mengacu pada hadits-hadits serta interpretasi dan pendapat para ulama yang terkait, kemudian melakukan kritik terhadap kekuatan ataupun kelemahannya. Setelah itu, ia akan memilih salah satu pendapat yang ada.
            Abu Ubaid sering dianggap sebagai seorang mujtahid yang indipenden karna kehandalannya dalam melakukan suatu karya yang sitematis tentang kaidah kaidah keuangan (financial maxims) terutama yang berkaitan dengan perpajakan, pada masa awal pembentukan mazhab-mazhab.
            Selain itu Abu Ubaid lebih mengutamakan hadits yang datang terakhir secara kronologis dari pada yang datang sebelumnya. Abu Ubaid mengatakan bahwa keumuman suatu hadis hanya dapat ditakhsis (dispesifikasi) dengan hadits yang lain, bukan dengan rasio seseorang. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa hadits dapat dibatalkan dengan hadits yang lain atau dengan ayat Alquran.
            Setelah Alquran dan Hadits, sumber hukum berikutnya yang digunakan oleh Abu Ubaid adalah ijma (kesepakatan umat). Kesimpulan hukum, terlihat bahwa Abu Ubaid sangat membatasi pengguna analoginya dalam rangka mengambil sebuah kesimpulan hukum jika hukum tersebut tidak secara eksplisit terdapat dalam Alquran dan Assunah. Dalam mengaji sebuah permasalahan yang menentukan ketentuan hukum, Abu Ubaid selalu memertimbangkan maqasid al-syariah dengan menempatkan manfaat bagi publik (al-maslahah al-ammah) sebagai penentu akhir. Di samping itu, ia memberikan ruang pada ta’amul (hukum adat atau tradisi) dalam menentukan suatu hukum.

4.  Pandangan Ekonomi Abu Ubaid
1.Filosopi Hukum dari Sisi Ekonomi
            Jika isi kitab al-Amwal dievaluasi dari sisi filosopi hukum, akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan berbagai perinsip utama. Bagi Abu Ubaid, pengimplementasikan dari prinsip-prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselaraan sosial. Pada dasarnya, Abu Ubaid memiliki pendekatan yang berimbang terhadap hak-hak individu, publik, dan negara; jika kepentingan indipidu berbenturan dengan kepentingan publik, ia akan berpihak pada kepentingan publik.
            Tulisan-tulisan Abu Ubaid  yang lahir pada keemasan Dinasti abbasiah menitikberatkan pada berbagai persoalan yang berkaitan dengan hak khalipah dalam mengambil suatu kebijakan atau wewenangnya dalam memutuskan suatu perkara kaum muslimin. Di samping itu Abu Ubaid juga menyatakan bahwa tarip pajak konstraktual tidak dapat dinaikan, bahwa dapat diturunkan apabila terjadi ketidakmampuan membayar. Lebih jauh, ia menyatakan jika bahwa seorang penduduk nonmuslim tersebut yang setara dengan jumlah utangnya akan di bebaskan dari bea cukai (duty-free) Disamping itu abu daud menekankan kepada satu sisi, petugas pengumpul kharaj, jizyah,ushur,atauzakat untuk tidak menyiksa masyarakatnya dan, dilain sisi, masyarakat agar memenuhi finasialnya secara teratur dan sepantasnya. Dengan perkataan lain, Abu Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau favoritisme.
            Pandangan Abu Ubaid yang tidak merunjuk pada tingkat kharaj yang ditetapkan oleh khalipah umar ataupun pengamatnya terhadap permasalahan yang timbul dari kebijakan peningkatan dan penurunan tingkat kharaj berdasarkan situasi dan kondisi, menunjukan bahwa Abu Ubaid mengadopsi kaidah fiqih “ia yunkaru taghayyiru al-fatwa bi taghayyurilazminati” (keberagamaan aturan atau hukum karena perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakan). Namun demikian baginya, keberagamaan tersebut hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu ijtihad.
2. Dikotomi Badui – Urban
            Pembahasan mengenai dikatomi badui-urban dilakukan Abu Ubaid ketika menyoroti alokasi pendapatan fai. Abu Ubaid menegaskan bahwa, bertentangan dengan kaum badui dan kaum urban(perkotaan):
         Ikut serta dalam keberlangsungan negara dengan berbagi kewajiban administratif dari semua kaum Muslim;
         Memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilitas jiwa dan harta mereka;
         Menggalakan pendidikan melalui proses ngajar-mengajar Alquran dan Sunnah serta penyebaran keunggulannya;
         Memberikan konstribusi terhadap keselaraan sosial melalui pembelajaran dan penerapan hudud;
         Memberikan contoh universalisme islam dengan shalat berjamaah.
            Singkatnya, di samping keadilan, Abu Ubaid membangun suatu negara islam berdasarkan administrasi, pertahanan, pendidikan, hukum, dan kasih sayang. Karakteristik tersebut diatas hanya diberikan oleh Allah Swt. Kepada kaum urban (perkotoran).disamping itu Abu Ubaid membedakan antara gaya hidup kaum badui dengan kultur menetap kaum urban dan membangun pondasi masyarakat Muslim berdasarkan martabat kaum urban, kerjasama dan komitmen dan kohesi sosial berorientasi urban, vertikal dan horizontal.
3.   Kepemilikan Dalam konteks Kebijakan Perbaikan Pertanian
            Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Dalam hal kepemilikan, pemikiran Abu Ubaid yang khas adalah mengenai hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian. Secara implisit Abu Ubaid mengemukakan bahwa kebijakan kepemerintahan, seperti iqta’ (enfeoffment) tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual atas tanah tandus yang disuburkan, sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian.
            Dalam pandangan Abu Ubaid, sumber daya publik, seperti air, padang rumput, dan apa tidak boleh dimonopolikan seperti hima’ (taman pribadi). Seluruh sumber daya ini hanya dapat dimasukan kedalam kepemilikan negara yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
4.   Pertimbangan Kebutuhan
            Abu Ubaid sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa pembagian harta zakat harus dilakukan secara merata diantara delapan kelompok penerima zakat dan cenderung melakukan suatu batas tertinggi terhadap bagian perorangan. Bagi Abu Ubaid, yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, seberapa pun besarnya, serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari bahaya kelaparan. Namun pada saat yang bersamaan, Abu Ubaid tidak memberikan hak penerimaan zakat kepada orang-orang yang memiliki 40 dirham atau harta lainnya yang setara,disamping baju,pakaian, rumah, dan pelayan yang dianggapnya sebagai suatu kebutuhan standar hidup minimum. Disisi lain, biasanya Abu Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham, yakni jumlah minimum yang terkena wajib zakat, sebagai orang kaya. Sehingga mengenekan kewajiban zakat terhadap orang tersebut. Oleh karena itu, pendeketan yang digunakan Abu Ubaid ini mengindikasikan adanya tiga kelompok sosios-ekonomi yang terkait dengan status zakat yang terkait dengan status zakat, yaitu; 
         Kalangan kaya yang terkena wajib zakat;
         Kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat,tetapi juga tidak berhak menerima zakat;
         Kalangan penerima zakat.
            Berkaitan dengan distribusi kekayaan melalui zakat, secara umum, Abu Ubaid mengadopsi prinsip “bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing masing” (li kulli wahidin hasba hajatihi). Lebih jauh, ketika membahas kebijakan penguasa dalam hal jumlah zakat (atau pajak) yang diberikan kepada para pengumpulnya (amil), pada prinsipnya, ia lebih cenderung pada prinsip “bagi setiap orang adalah sesuai dengan haknya”.
5.    Fungsi Uang
            Pada prinsipnya, Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang, yakni sebagai setandar nilai pertukaran (medium of exchange). Dalam hal ini, ia menyatakan:
       “Adalah hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apapun  kecuali keduanya meenjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah penggunaannya untuk membeli sesuatu (infak)”
            Pernyataan Abu Ubaid tersebut menunjukan bahwa ia mendukung teori konvensional mengenai uang logam, walaupun sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan perak tidak layak untuk apapun kecuali keduanya mejadi harga dari barang dan jasa.
            Salah satu ciri khas kitab al-Amwal diantara kitab-kitab lain yang membahas tentang keuangan publik (publik finance) Adalah pembahasan tentang timbangan dan ukuran, yang biasa digunakan dalam menghitung beberapa kewajiban agama yang barkaitan dengan harta atau denda, dalam satu bab khusus. Didalam bab ini, Abu Ubaid juga menceritakan tentang usaha khalifah Abdul Al-Malik ibn Marwan dalam melakukan setandarisasi dari berbagai jenis mata uang yang ada dalam sirkulasi.

UMAR CHAPRA


A.H.Ridwan

M. Umer Chapra (1 Februari 1933, Bombay India) adalah salah satu ekonom kontemporer Muslim yang paling terkenal pada zaman modern ini di timur dan barat. Ayahnya bernama Abdul Karim Chapra. Chapra dilahirkan dalam keluarga yang taat beragama, sehingga ia tumbuh menjadi sosok yang mempunyai karakter yang baik. Keluarganya termasuk orang yang berkecukupan sehingga memungkinkan ia mendapatkan pendidikan yang baik.
Masa kecilnya ia habiskan di tanah kelahirannya hingga berumur 15 tahun. Kemudian ia pindah ke Karachi untuk meneruskan pendidikannya disana sampai meraih gelar Ph.D dari Universitas Minnesota. Dalam umurnya yang ke 29 ia mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Khairunnisa Jamal Mundia tahun 1962, dan mempunyai empat anak, Maryam, Anas, Sumayyah dan Ayman.
Dalam karier akademiknya DR. M. Umer Chapra mengawalinya ketika mendapatkan medali emas dari Universitas Sindh pada tahun 1950 dengan prestasi yang diraihnya sebagai urutan pertama dalm ujian masuk dari 25.000 mahasiswa. Setelah meraih gelar S2 dari Universitas Karachi pada tahun 1954 dan 1956, dengan gelar B.Com / B.BA ( Bachelor of Business Administration ) dan M.Com / M.BA ( Master of Business Administration ), karier akademisnya berada pada tingkat tertinggi ketika meraih gelar doktoralnya di Minnesota, Minneapolis. Pembimbingnya, Prof. Harlan Smith, memuji bahwa Chapra adalah seorang yang baik hati, mempunyai karakter yang baik dan kecemerlangan akademis. Menurut Profesor ini, Chapra adalah orang yang terbaik yang pernah dikenalnya, bukan hanya dikalangan mahsiswa namun juga seluruh fakultas.
DR. Umer Chapra terlibat dalam berbagai organisasi dan pusat penelitian yang berkonsentrasi pada ekonomi Islam. Saat ini dia menjadi penasehat pada Islamic Research and Training Institute (IRTI) dari IDB Jeddah. Sebelumnya ia menduduki posisi di Saudi Arabian Monetary Agency (SAMA) Riyadh selama hampir 35 tahun sebagai penasihat peneliti senior. Aktivitasnya di lembaga-lembaga ekonomi Arab Saudi ini membuatnya di beri kewarganegaraan Arab Saudi oleh Raja Khalid atas permintaan Menteri Keuangan Arab Saudi, Shaikh Muhammad Aba al-Khail. Lebih kurang selama 45 tahun beliau menduduki profesi diberbagai lembaga yang berkaitan dengan persoalan ekonomi diantaranya 2 tahun di Pakistan, 6 tahun di Amerika Serikat, dan 37 tahun di Arab Saudi. Selain profesinya itu banyak kegiatan ekonomi yang dikutinya, termasuk kegiatan yang diselenggarakan oleh lembaga ekonomi dan keuangan dunia seperti IMF, IBRD, OPEC, IDB, OIC dan lain-lain.
Beliau sangat berperan dalam perkembangan ekonomi Islam. Ide-ide cemerlangnya banyak tertuang dalam karangan-karangannya. Kemudian karena pengabdiannya ini beliau mendapatkan penghargaan dari Islamic Development Bank dan meraih penghargaan King Faisal International Award yang diperoleh pada tahun 1989.
Beliau adalah sosok yang memiliki ide-ide cemerlang tentang ekonomi islam. Telah banyak buku dan artikel tentang ekonomi islam yang sudah diterbitkan samapai saat ini telah terhitung sebanyak 11 buku, 60 karya ilmiah dan 9 resensi buku. Buku dan karya ilmiahnya banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa termasuk juga bahasa Indonesia.
Buku pertamanya, Towards a Just Monetary System, Dikatakan oleh Profesor Rodney Wilson dari Universitas Durham, Inggris, sebagai "Presentasi terbaik terhadap teori moneter Islam sampai saat ini" dalam Bulletin of the British Society for Middle Eastern Studies (2/1985, pp.224-5). Buku ini adalah salah satu fondasi intelektual dalam subjek ekonomi Islam dan pemikiran ekonomi Muslim modern sehingga buku ini menjadi buku teks di sejumlah universitas dalam subjek tersebut.
Buku keduanya, Islam and the Economic Challenge, di deklarasikan oleh ekonom besar Amerika, Profesor Kenneth Boulding, dalam resensi pre-publikasinya, sebagai analisis brilian dalam kebaikan serta kecacatan kapitalisme, sosialisme, dan negara maju serta merupakan kontribusi penting dalam pemahaman Islam bagi kaum Muslim maupun non-Muslim. Buku ini telah diresensikan dalam berbagai jurnal ekonomi barat. Profesor Louis Baeck, meresensikan buku ini di dalam Economic Journal dari Royal Economic Society dan berkata: “ Buku ini telah ditulis dengan sangat baik dan menawarkan keseimbangan literatur sintesis dalam ekonomi Islam kontemporer. Membaca buku ini akan menjadi tantangan intelektual sehat bagi ekonom barat. “ ( September 1993, hal. 1350 ). Profesor Timur Kuran dari Universitas South Carolina, mereview buku ini dalam Journal of Economic Literature untuk American Economic Assosiation dan mengatakan bahwa buku ini menonjol sebagai eksposisi yang jelas dari keterbukaan pasar Ekonomi Islam. Kritiknya terhadap sistim ekonomi yang ada secara tidak biasa diungkap dengan pintar dan mempunyai dokumentasi yang baik. Chapra, menurutnya telah membaca banyak tentang kapitalisme dan sosialisme sehingga kritiknya berbobot. Dan, Profesor Kuran merekomendasikan buku ini sebagai panduan sempurna dalam pemahaman ekonomi Islam.
Pendapat M. Umer Chapra terhadap ekonomi Islam pernah dikatakannya dan didefinisikannya sebagai berikut: Ekonomi Islam didefinisikan sebagai sebuah pengetahuan yang membantu upaya realisasi kebahagiaan manusia yang berada dalam koridor yang mengacu pada pengajaran Islam tanpa memberikan kebebasan individu atau tanpa perilaku makro ekonomi yang berkesinambungan dan tanpa ketidakseimbangan lingkungan.
Karya-karya Umer Chapra adalah Toward a Just Monetary System (1985), Islam and Economic Challenge (1992), Islam and the Economic Development (1994), The Future of Economics; an Islamic Perspective (2000).

2.2. EKONOMI KONVENSIONAL MENURUT PANDANGAN UMAR CHAPRA

Menurut Umar Chapra, ilmu ekonomi konvensional yang selama ini mendominasi pemikiran ilmu ekonomi modern, telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang sangat maju dan bahkan terdepan. Dampak yang lebih mengagumkan lagi dari akselerasi perkembangan di Negara-negara industry Barat adalah tersedianya sumber-sumber kajian substansial bagi para pakar untuk membantu program riset mereka.
Ilmu ekonomi konvensional telah dibangun oleh dua himpunan tujuan yang berbeda. Salah satunya disebut tujuan positif, yang terhubung erat dengan usaha realisasi secara efesien dan adil dalam proses alokasi dan distribusi sumber daya yang terbatas. Dan tujuan lain disebut dengan tujuan normative yang di ekspresikan dengan usaha penggapaian secara universal tujuan social ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan hidup dan lain-lain.
Tiga konsep penting yang menjadi pilar-pilar dasar ilmu ekonomi konvensional adalah:
1. Rational economic man. Ilmu ekonomi konvensional sangat dipengaruhi oleh asumsi bahwa tingkah laku individu adalah rasional. Dalam kerangka berfikir seperti ini, masyarakat dikonseptualisasikan sebagai sebuah kumpulan dari individu-individu yang diikat pemenuhan nafsu pribadi.
2. Positivisme. Positivism mengesampingkan peran nilai moral sebagai alat filterisasi dalam alokasi dan ditribusi sumber daya.
3. Hukum Say. Hukum say menyebutkan bahwa sebagaimana alam semesta, ilmu ekonomi akan berjalan secara baik apabila dibiarkan lepas sekehendaknya. Proses produksi akan mencipakan kekuatan permintaannya sendiri, dan tidak akan terjadi kelebihan produksi ataupun pengangguran. Hal ini, akan membawa pada konsep laissez faire, sebuah konsep yang menolak intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar.

Dalam kapasitasnya sebagai pakar ekonomi ditambah dengan berbagai pengalaman praktis sebagai penasehat di bidangnya, beliau menangkap dua persoalan mendasar, yaitu pertama sebuah phenomena sosioekonomi, bahwa menurut perkembangannya system ekonomi konvensional –walaupun telah mencapai tingkat sofitikasi intelektual yang sangat besar- telah gagal dalam mewujudkan kesejahteraan ekonomi umat manusia. Kegagalan tersebut, menurut Chapra kemungkinan disebabkan karena;
1. Terletak pada anatemanya terhadap penilaian (value judgement) dan penekanan yang berlebihan pada maksimalisasi kekayaan dan pemuasan keinginan serta pengumbaran kepentingan individual. Sejauh yang dikaitkan dengan kepentingan social, para ekonom konvensional pada umumnya menganggap bahwa persaingan akan membantu menggerakkan kepentingan diri sendiri dan pada gilirannya memenuhi kepentingan sosial.
Di sinilah timbul persoalan apakah maksimalisasi kekayaan dan pemuasan keinginan adalah hal yang benar-benar diperlukan untuk mengoptimalkan kesejahteraan umat manusia atau masih juga diperlukan adanya kedamaian mental dan kebahagiaan, solidaritas social dan keluarga, pengasuhan yang mencukupi bagi anak-anak, pemenuhan kebutuhan pokok bagi semua individu dalam masyarakat, dan distribusi kekayaan yang adil. Jika semua masalah ini penting, persoalannya adalah apakah pelampiasan kepentingan diri oleh tiap-tiap individu secara optomatis akan membantu realisasinya.
2. Adanya anathema ilmu ekonomi konvensional terhadap penilaian dan penekanannya yang berlebihan pada maksimalisasi kekayaan dan pemuasan kepentingan serta pengumbaran kepentingan diri sendiri (self-interest) merupakan suatu pelarian yang jelas dari filosofi dasar mayoritas agama. Agama-agama pada umumnya berpendapat bahwa kemakmuran meteriil, sekalipun sangat penting tetapi tidak cukup dapat menggerakkan kepentingan diri sendiri dan menjamin kepentingan social atau mencegah timbulnya bentuk-bentuk tindakan yang salah dan ketidakadilan. Terdapat banyak cara yang halus untuk menghindari persaingan yang tidak sehat, demikian juga cara menghindari penangkapan dan hukuman akibat tindakan tersebut, tanpa selalu mengandalkan kekuatan paksa negara. Usaha apapun yang mengandalkan lebih banyak pada Negara dalam mencegah tindakan-tindakan yang salah tidak saja akan meningkatkan ongkos pemerintah, melainkan juga akan menciptakan suatu pemerintahan totalitarian. Oleh karena itu, nilai-nilai moral memiliki nilai penting dalam masyarakat manusia untuk mencegah tindakan-tindakan yang salah dan ketidakadilan serta menunbuhkembangkan kesejahteraan.
Oleh karena itu, perkembangan ilmu konvensional yang semata-mata mengambil variabel-variabel ekonomi dalam menjelaskan jatuh bangunnya suatu masyarakat sangatlah tidak sehat, selanjutnya menurut Chapra disamping variabel-variabel ekonomi, perlu juga memasukkan factor-faktor moral psikologis, social, dan sejarah yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia.

2.3. ILMU EKONOMI ISLAM MENURUT PANDANGAN UMAR CHAPRA

Paradigma ilmu ekonomi yang ditawarkan Islam sangat berbeda dengan ilmu ekonomi konvensional. Paradigma Islam bukanlah sekuler, bebas nilai, materialis, dan mengedepankan Darwinisme-sosial yang menutup mata terhadap kemiskinan dan pengangguran hanya karena memuaskan kepentingan sendiri. Paradigma ilmu ekonomi Islam mendasarkan pada kenyataan pokok, alam semesta diciptakan oleh Yang Maha Tunggal. Manusia menjadi wakil-Nya di muka bumi. Mereka bersaudara, dan tidak ada yang membedakan satu dengan yang lain lantaran ras, kekayaan, jenis kelamin, kebangsaan maupun kekuatan.
Dunia dimaklumi sekedar sebagai tempat persinggahan sementara. Sementara yang lebih kekal adalah alam akherat. Kesejahteraan di akherat sangat ditentukan oleh cara-cara manusia semasa mereka hidup. Kesejahteraan hakiki dalam kerangka syariah tidak melulu direalisasikan dengan mengkonsentrasikan diri pada upaya maksimasi kekayaan dan konsumsi, ia juga memerlukan pemenuhan kebutuhan material dan spiritual yang seimbang.

A. Prinsip-prinsip Paradigma Islam
Para ulama Islam telah menyepakati bahwa salah satu tujuan terpenting syari’ah adalah mengurangi kesulitan dan berusaha untuk menjadikan hidup setiap manusia lebih nyaman (QS. Al-Baqarah : 2 ayat 185).
a. Rational Economic Man
Mainstream pemikiran Islam sangat jelas dalam mencirikan tingkah laku rational yang bertujuan agarmampu mempergunakan sumber daya karunia Allah dengan cara yang dapat menjamin kesejahteraan duniawi individu. Kekayaan menurut Islam akan membangkitkan berbuat salah satu atau mengajak pada pemborosan, keangkuhan dan ketidakadilan yang baru dikecam keras. Sedangkan kemiskinan telah dianggap sebagai hal tidak disukai karena menimbulkan ketidakmampuan dan kelemahan.
b. Positivisme
Paradigma Islam, seperti ilmu ekonomi konvensional, juga menekankan seseorang untuk bersikap rasional. Bahkan, itu menjadi salah satu tujuan terpenting dari syariah. Doktrin yang sangat terkenal adalah mengurangi kesulitan dan berusaha untuk menjadikan hidup manusia lebih nyaman (Quran 2:185). Karena dorongan ini, Islam menyilakan siapapun untuk menjadi kaya dengan rasionalitasnya.
Hanya, satu yang harus dicatat mereka, kekayaan itu diperoleh dengan cara yang benar, tidak menzhalimi siapapun, dan dipergunakan atau diinvestasikan secara produktif untuk memenuhi kebutuhan seseorang atau kebutuhan orang lain dengan cara yang adil.
Inilah yang tidak bisa dipenuhi oleh mekanisme pasar. Almawardi sebagaimana ilmuwan Islam lain seperti Ibnu Khaldun menganggap, perlunya tekad untuk mengekang keinginan pribadi melalui nilai-nilai moral. Melalui nilai moral, akan menghilangkan asa saling permusuhan dan iri hati, memperkuat solidaritas kelompok dan mendorong kebajikan.
Karena itu, hampir tidak ditemukan jejak dalam perkembangan ilmu ekonomi Islam yang melandaskan pijakan pada sikap positivisme–satu dari sendi penting ekonomi konvensional. Positivisme atau bebas nilai dari etika atau pertimbangan-pertimbangan normatif, bertentangan dengan kondisi bahwa apa yang dikuasai manusia hanyalah sekedar titipan-Nya. Seluruh sumber daya adalah amanah dari Tuhan dan karenanya, manusia akan dimintai pertanggungjawabannya kelak.
c. Keadilan
Karena sumber daya hanyalah titipan, maka penggunaaan sumber daya yang salah akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan lain bagi pelaku ekonomi dalam melakukan aktivitas bisnisnya untuk selalu mendasarkan pada keadilan. Nilai keadilan dalam Al-Quran maupun hadis Nabi bahkan menjadi salah satu tujuan pokok syariah. Harun As-Rasyid mengatakan bahwa memperbaiki kesalahan dengan menegakan keadilan dan mengikis ketidakadilan akan meningkatkan pendapatan pajak, mengeskalasi pembangunan Negara, serta akan menambah berkah kebajikan di akhirat. Ibnu Khaldun juga mengatakan bahwa mustahil bagi sebuah Negara dapat berkembang tanpa keadilan.
d. Pareto Optimum
Dalam Islam penggunaan sumber daya yang palin efisien diartikan dengan muqashid. Setiap perekonomian dianggap telah mencapai efisiensi yang optimum bila telah menggunakan seluruh potensi sumber daya manusia dan materi yang terbatas sehingga kualitas barang dan jasa maksimum dapat memuskan kebutuhan.
e. Intervensi Negara
Al-Mawardi telah mengatakan bahwa keberadaan sebuah pemerintahan yang efektif sangat dibutuhkan untuk mencegah kedzaliman dan pelanggaran. Nizam al-Mulk menyebutkan bahwa tugas dan tanggung jawab Negara atau penguasa adalah menjamin keadilan dan menjalankan sesuatu yang penting untuk meraih kemakmuran masyarakat luas.

B. Keuangan Publik
a. Zakat
Zakat merupakan kewajiaban religius bagi seorang muslim sebagaimana shalat, puasa dan naik haji, yang harus dikeluarkan sebagai proporsi tertentu terhadap kekayaan atau output bersihnya. Hasil zakat ini tidak bias dibelanjakan oleh pemerintah sekehendaknya hati sendiri. Namun demikian pemerintah Islam harus tetap menjaga dan memainkan peranan penting dalam memberikan kepastian dijalankannya nilai-nilai Islam.
Agar zakat memainkan peranannya secara berarti, sejumlah ilmuan menyarankan bahwa zakat ini seharusnya menjadi sulemen pendapatan yang permanen hanya bagi orang-orang yang tidak mampu menghasilkan pendapatan yang cukup melalui usaha-usahanya sendiri. Zakat dipergunakan hanya untuk menyediakan pelatihan dan modal unggulan, baik sebagai kredit yang bebas bunga ataupun sebagai bantuan untuk membuat mereka mampu membentuk usaha-usaha kecil sehingga dapat berusaha mandiri.
b. Pajak lainnya
Dengan dijadikannya hasil penerimaan zakat terutama untuk menyediakan jaring pengamanan ekstra, pemerintah Islam membutuhkan sumber daya lain agara dapat menjalankan fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi secara efektif. Sumber daya atau pendapatan yang diperoleh pada masa Nabi dan para sahabatnya bias bersumber dari pajak seperti kharaj, ushr, jizyah, fa’I, ghanimah, dan tarif cukai lainnya. Perekonomian pada masa itu bertumpu pada pertanian, oleh karenanya, pajak seperti hharaj dan ushr merupakan pajak utama atas output-output pertanian.
Namun demikian para ulama klasik justru tidak membolehkan pemungutan pajak. Alasan karena pemerintahnya korup. Dengan mengijinkan pemerintah memungut pajak maka menurut mereka cenderung memperkuat pemerintahan yang korup.
Untungnya sejumlah ulama yang terkenal telah menyadari hak pemererintahan Islam untuk mendapatkan sumber dananya melalui pajak agar ia mampu menjalankan fungsinya secara efektif. Al-Qardhawi berpendapat bahwa karena tanggung jawab pemerintah sangat meningkat sepanjang waktu, “ dari mana pemerintah akan melakukan pembiayaan jika ia tidak diijinkan untuk memungut pajak.” Dengan demikian perlu dirancang suatu system perpajakan yang disesuaikan dengan perubahan keadaan. Para cendikiawan menganggap bahwa pajak langsung lebih memberikan keadilan di dalam pandangan Islam. Hasan Al-Banna, al-Qardhawi dan al-‘Abbadi menganggap bahwa system pajak yang progresif benar-benar selaras dengan etos Islam, karena system ini membantu mengurangi ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan.
Para ulama klasik hanya mendukung pemberlakuan pajak yang adil dan selaras dengan semangat Islam. System pajak yang mereka anggap adil paling tidak harus memenuhi tiga kriteria yaitu:
Pertama, pajak harus dipungut untuk membiayai hal yang benar-benar dianggap perlu dan untuk kepentingan mewujudkan maqashid;
Kedua, beban pajak tdak boleh terlalu memberatkan dibandingkan dengan kemampuan orang untuk memikulnya;
Ketiga, hasil pajak harus dibelanjakan secara hati-hati sesuai dengan tujuan awal pengumpulan pajak tersebut.

C. Prinsip Pembelanjaan
Ada prinsip umum untuk membantu memberikan dasar yang rasional dan konsisten mengenai belanja public, yaitu:
1. Criteria utama untuk semua alokasi pengeluaran adalah kesejahteraan masyarakat.
2. Penghapusan kesulitan hidup dan penderita harus diutamakan di atas penyediaan rasa tentram.
3. Kepentingan mayoritas harus didahulukan di atas kepentingan otoritas yang lebih sedikit.
4. Pengorbanan individu dapat dilakukan untuk menyelamatkan pengorbanan atau kerugian public.
5. Siapapun yang menerima manfaat harus menanggung biayanya.
6. Sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tidak dapat terpenuhi juga merupakan suatu kewajiban untuk pengadaannya.

Beberapa ulam klasik menentang keras pemerintah berutang karena adanya salah urus dari pembiayaan public yang lazim terjadi pada masa mereka. Mereka menetapkan suatu kondisi dimana pemerintah tidak boleh meminjam kecuali ada ekspektasi mengenai pendapatan yang akan menjamin pembayaran utangnya kembali. Meski diperbolehkan secara prinsip oleh syari’ah mencari pinjaman untuk membiayai deficit anggaran namun hatus dihindarkan.
D. Kebijakan Moneter
Instrument kebijakan moneter terdiri atas enam elemen yaitu:
1. Target pertumbuhan dalam M dan Mo
2. Saham Publik Terhadap Deposito Unjuk (Uang Giral)
3. Cadangan Wajib resmi
4. Pembatasan Kredit
5. Alokasi Kredit yang Beralokasi pada Nilai
6. Teknik yang lain (konyak personal, konsultasi dan rapat-rapat dengan bank komersial)
Instrument lain yang juga terdapat dalam literature perbankan Islam diantaranya adalah :
1. Membeli dan menjual saham dan sertifikasi bagi hasil untuk menggantikan obligasi pemerintah dalam opersi pasar.
2. Rasio pemberian kembali pembiayaan.
3. Rasio pemberian pinjaman.

ABU ISHAQ AL-SYATIBI


ABU ISHAQ AL-SYATIBI
2.1  Riwayat Hidup
Al-Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Al-Gharnati Al-Syatibi merupakan salah seorang cendikiawan Muslim yang belum banyak diketahui latar belakang kehidupannya. Ia berasal dari suku Arab Lakhmi. Al-Syatibi dibesarkan dan memperoleh seluruh pendidikannya di ibukota kerajaan Nashr, Granada, Spanyol.
Suasana ilmiah yang berkembang dengan baik di kota tersebut sangat menguntungkan bagi Al-Syatibi dalam menuntut ilmu serta mengembangkannya di kemudian hari. Al-Syatibi memulai aktivitas ilmiahnya dengan belajar dan mendalami bahasa Arab dari Abu Abdillah Muhammad ibn Fakhkhar Al-Biri, Abu Qasim Muhammad ibn Ahmad Al-Syatibi, dan Abu Ja’far Ahmad Al-Syaqwari. Selanjutnya ia belajar dan mendalami hadits dari Abu Qasim ibn Bina dan Syamsuddin Al-Tilimsani, ilmu kalam dan falsafah dari Abu Ali Mansur Al-Zawawi, ilmu ushul fiqih dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Miqarri dan Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad Al-Syarif Al-Tilimsani, ilmu sastra dari Abu Bakar Al-Qarsyi Al-Hasymi, serta berbagai ilmu lainnya, seperti ilmu falak, mantiq, dan debat.
Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, Al-Syatibi mengembangkan potensi keilmuannya dengan mengajarkan kepada generasi berikutnya, seperti Abu Yahya ibn Asim dan Abu Bakar Al-Qadi.
Ia juga mewarisi karya-karya ilmiah, seperti Syarh Jalil ‘ala al-Khulashah fi al-Nahw dan Ushul al-Nahw dalam bidang bahasa Arab dan al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah dan al-I’tisham dalam bidang ushul fiqih.
Al-Syatibi wafat pada tanggal 8 Sya’ban 790 H  (1388 M).

2.2  Konsep Maqashid al-Syari’ah
Imam Asy-Syatibi (w.790 H), dalam Al-Muwafaqat, mengatakan, mempelajari ilmu ushul fiqh merupakan sesuatu yang dharuri (sangat penting dan mutlak diperlukan), karena melalui ilmu inilah dapat diketahui kandungan dan maksud setiap dalil syara’ (Al-quran dan hadits) sekaligus bagaimana menerapkannya.  
Sebagai sumber utama agama Islam, Al-Quran mengandung berbagai ajaran, yaitu aqidah, akhlak, dan syari’ah. Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, akhlak berkaitan dengan etika, dan syari’ah berkaitan dengan berbagai aspek hukum yang muncul dari aqwal (perkataan) dan af’al (perbuatan). Kelompok terakhir (syari’ah), dalam sistematika hukum Islam, dibagi dalam dua hal, yakni ibadah (habl min Allah) dan muamalah (habl min al-nas).[1]
Aturan dalam Al-Quran diperinci oleh Nabi Muhammad SAW melalui berbagai hadistnya. Kedua sumber inilah (AlQuran dan Hadits) yang kemudian dijadikan pijakan ulama dalam mengembangkan hukum Islam, terutama di bidang Mu’amalah. Dalam kerangka ini Al-Syatibi mengungkapkan konsep Maqashid Al-Syari’ah.
Secara bahasa, Maqashid al-Syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-syari’ah berarti jalan menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan.[2]
Menurut istilah, Al-Syatibi menyatakan, “Sesungguhnya syari’ah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.”
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa tujuan syari’ah menurut Al-Syatibi adalah mencapai kemaslahatan umat manusia. Kemaslahatan yang dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang daianggap sebagai pemenuhan hidup manusia. Dengan demikian, kewajiban-kewajiban dalam syari’ah menyangkut perlindungan maqashid al-syari’ah yang pada gilirannya bertujuan melindungi kemashlahatan manusia.
a.      Pembagian Maqashid Al-Syari’ah
Menurut Al-Syatibi, kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur pokok kehidupan manusia dapat diwujudkan dan dipelihara, yaitu :
·         Agama
·         Jiwa
·         Akal
·         Keturunan
·         Harta
Dalam kerangka ini, ia membagi maqashid menjadi tiga tingkatan, yaitu :
1.      Dharuriyat
Jenis maqashid ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan manusia di dunia dan di akhirat yang mencakup pemeliharaan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Jika kelima unsur itu diabaikan akan menimbulkan kerusakan di muka bumi serta kerugian yang nyata di akhirat kelak.
Sebagai contoh, pelaksanaan rukun Islam merupakan salah satu bentuk pemeliharaan eksistensi agama dan jiwa serta perlindungan terhadap eksistensi harta.
2.      Hajiyat
Jenis maqashid ini dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan, menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur pokok kehidupan manusia. Hajiyat pada dasarnya terfokus kepada pemenuhan kebutuhan manusia.
Sebagai contoh, berbagai aktivitas ekonomi yang bertujuan memudahkan kehidupan manusia (kemashlahatan) dan menghilangkan kesulitan bagi manusia diperbolehkan selagi kegiatan itu tidak melenceng dari aturan-aturan agama yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits Nabi.
3.      Tahsiniyat
“Berlomba-lombalah dalam melakukan kebaikan”, itulah kalimat ajakan agama Islam bagi umatnya untuk senantiasa melakukan amal shaleh dan kebaikan. Tujuan maqashid ini adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia. Perilaku ini lebih condong kepada sikap tingkah laku yang diperlihatkan saat melakukan suatu pekerjaan.
Contoh maqashid ini adalah berbicara sopan santun dalam berbicara dan bertindak serta pengembangan kualitas produksi dan hasil pekerjaan.
b.      Kolerasi Antara Dharuriyat, Hajiyat, dan Tahsiniyat
Dari hasil penelaahannya secara lebih mendalam, Al-Syatibi menyimpulkan kolerasi antara  dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat sebagai berikut:[3]
1.      Maqashid Dharuriyat merupakan dasar bagi maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat.
2.      Kerusakan pada maqashid dharuriyat akan membawa kerusakan pula pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat.
3.      Sebaliknya, kerusakan pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat tidak dapat merusak maqashid dharuriyat.
4.      Kerusakan pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat yang bersifat absolut terkadang dapat merusak maqashid dharuriyat.
5.      Pemeliharaan maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat diperlukan demi pemeliharaan maqashid dharuriyat secara tepat.
Tampaknya, dalam pandangan Al-Syatibi, maqashid dharuriyat sangat diutamakan dan menjadi pokok bagi maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat. Kedudukan maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat adalah sebagai penyempurna maqashid dharuriyat. Pengklasifikasian tersebut menunjukan betapa pentingnya pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia yang bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia.
Mustafa Anas Zarqa menyatakan bahwa segala aktifitas atau sesuatu yang bersifat tahsiniyat harus dikesampingkan jika bertentangan dengan maqashid yang lebih tinggi (dharuriyat dan hajiyat).
2.3  Beberapa Pandangan Al-Syatibi di Bidang Ekonomi
a.      Objek Kepemilikan
Al-Syatibi menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak.  Ia menegaskan bahwa air bukanlah objek kepemilikan dan penggunaannya tidak bisa dimiliki oleh seorangpun. Dalam hal ini, ia membedakan dua macam air, yaitu air yang tidak dapat dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air sungai dan oase; dan air yang bisa dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang tanah milik individu.[4]
Tidak ada hak bagi seorang pun untuk memiliki hak pemilikan sungai, karena sudah terbukti bahwa sungai merupakan sarana milik umum yang digunakan untuk memudahkan arus perairan. Menjaga dan memelihara yang bisa disebut sebagai maqashid tahsiniyat adalah kewajiban semua masyarakat, baik yang berada di sekitar sungai maupun yang tidak. Sebab jika diabaikan, maka akibatnya akan menimpa pada manusia kembali.
b.      Pajak
Menurut pandangan Al-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum). Dalam kondisi tidak mampu melaksanakan tanggung jawab ini, masyarakat bisa mengalihkannya kepada Baitul Mal serta menyumbangkan sebagian kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut.
2.4  Wawasan Modern Teori Al-Syatibi
Pemenuhan kebutuhan adalah tujuan aktifitas ekonomi, dan pencarian terhadap tujuan ini adalah kewajiban agama. Dengan kata lain, manusia berkewajiban untuk memecahkan berbagai permasalahan ekonominya. Oleh karena itu, problematika ekonomi manusia dalam perspektif Islam adalah pemenuhan kebutuhan (fulfillment needs) dengan sumber daya alam yang tersedia.
Konsep Maqashid al-Syari’ah mempunyai relevansi yang begitu erat dengan konsep motivasi. Bila motivasi dikaitkan dengan konsep maqashid al-syari’ah, jelas bahwa dalam pandangan Islam, motivasi manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam arti memperoleh kemashlahatan hidup di dunia dan akhirat.[5] Motivasi itupun harus diiringi dengan keoptimisan dan berprasangka baik pada Allah SWT. Keyakinan terhadap kuasa Allah akan mempermudah untuk memperoleh apapun yang diinginkan asalkan tidak keluar dari aturan-aturan agama yang tercantum dalam Al-Quran dan Hadist Nabi.
            Seorang individu akan terdorong untuk berperilaku bila terdapat suatu kekurangan dalam dirinya, baik secara psikis maupun psikiologis. Motivasi itu sendiri meliputi usaha, ketekunan dan tujuan.

2. Mengatur jalannya tujuan (melakukan tindakan-tindakan pemenuhan kebutuhan)
 
3. Kepuasan Kebutuhan ( pemenuhan kepuasan kebutuhan
 
             




Gambar 1 Proses Motivasi
            Dari bagan di atas, dapat dilihat bahwasanya ketika seseorang dalam ketidakpuasan terhadap sesuatu, dia akan terdorong oleh motivasi untuk berusaha lebih baik dengan mengatur dan melakukan tindakan-tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Usaha yang diiringi dengan ketekunan akan berbuah hasil yang memuaskan.
            Maslow berpendapat bahwa seorang individu baru akan beralih untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih tinggi jika kebutuhan dasarnya telah terpenuhi. Lebih jauh, berdasarkan konsep hierarchy of needs,   ia berpendapat bahwa garis hierarkis kebutuhan manusia berdasarkan sakala prioritasnya terdiri dari :
1.      Kebutuhan Fisiologi (Physiological Needs), mencakup kebutuhan dasar manusia, seperti makan dan minum. Dalam dunia manajemen, dapat diaplikasikan dalam hal pemberian upah atau gaji yang adil dan lingkungan kerja yang nyaman.
2.      Kebutuhan Keamanan (Safety Needs), mencakup kebutuhan perlindungan terhadap gangguan fisik dan kesehatan serta krisis ekonomi. Dalam dunia manajemen, dapat diaplikasikan dalam hal pemberian tunjangan, keamanan kerja dan lingkungan kerja yang nyaman.