Kamis, 02 Juni 2011

ABU ISHAQ AL-SYATIBI


ABU ISHAQ AL-SYATIBI
2.1  Riwayat Hidup
Al-Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Al-Gharnati Al-Syatibi merupakan salah seorang cendikiawan Muslim yang belum banyak diketahui latar belakang kehidupannya. Ia berasal dari suku Arab Lakhmi. Al-Syatibi dibesarkan dan memperoleh seluruh pendidikannya di ibukota kerajaan Nashr, Granada, Spanyol.
Suasana ilmiah yang berkembang dengan baik di kota tersebut sangat menguntungkan bagi Al-Syatibi dalam menuntut ilmu serta mengembangkannya di kemudian hari. Al-Syatibi memulai aktivitas ilmiahnya dengan belajar dan mendalami bahasa Arab dari Abu Abdillah Muhammad ibn Fakhkhar Al-Biri, Abu Qasim Muhammad ibn Ahmad Al-Syatibi, dan Abu Ja’far Ahmad Al-Syaqwari. Selanjutnya ia belajar dan mendalami hadits dari Abu Qasim ibn Bina dan Syamsuddin Al-Tilimsani, ilmu kalam dan falsafah dari Abu Ali Mansur Al-Zawawi, ilmu ushul fiqih dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Miqarri dan Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad Al-Syarif Al-Tilimsani, ilmu sastra dari Abu Bakar Al-Qarsyi Al-Hasymi, serta berbagai ilmu lainnya, seperti ilmu falak, mantiq, dan debat.
Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, Al-Syatibi mengembangkan potensi keilmuannya dengan mengajarkan kepada generasi berikutnya, seperti Abu Yahya ibn Asim dan Abu Bakar Al-Qadi.
Ia juga mewarisi karya-karya ilmiah, seperti Syarh Jalil ‘ala al-Khulashah fi al-Nahw dan Ushul al-Nahw dalam bidang bahasa Arab dan al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah dan al-I’tisham dalam bidang ushul fiqih.
Al-Syatibi wafat pada tanggal 8 Sya’ban 790 H  (1388 M).

2.2  Konsep Maqashid al-Syari’ah
Imam Asy-Syatibi (w.790 H), dalam Al-Muwafaqat, mengatakan, mempelajari ilmu ushul fiqh merupakan sesuatu yang dharuri (sangat penting dan mutlak diperlukan), karena melalui ilmu inilah dapat diketahui kandungan dan maksud setiap dalil syara’ (Al-quran dan hadits) sekaligus bagaimana menerapkannya.  
Sebagai sumber utama agama Islam, Al-Quran mengandung berbagai ajaran, yaitu aqidah, akhlak, dan syari’ah. Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, akhlak berkaitan dengan etika, dan syari’ah berkaitan dengan berbagai aspek hukum yang muncul dari aqwal (perkataan) dan af’al (perbuatan). Kelompok terakhir (syari’ah), dalam sistematika hukum Islam, dibagi dalam dua hal, yakni ibadah (habl min Allah) dan muamalah (habl min al-nas).[1]
Aturan dalam Al-Quran diperinci oleh Nabi Muhammad SAW melalui berbagai hadistnya. Kedua sumber inilah (AlQuran dan Hadits) yang kemudian dijadikan pijakan ulama dalam mengembangkan hukum Islam, terutama di bidang Mu’amalah. Dalam kerangka ini Al-Syatibi mengungkapkan konsep Maqashid Al-Syari’ah.
Secara bahasa, Maqashid al-Syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-syari’ah berarti jalan menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan.[2]
Menurut istilah, Al-Syatibi menyatakan, “Sesungguhnya syari’ah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.”
Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa tujuan syari’ah menurut Al-Syatibi adalah mencapai kemaslahatan umat manusia. Kemaslahatan yang dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang daianggap sebagai pemenuhan hidup manusia. Dengan demikian, kewajiban-kewajiban dalam syari’ah menyangkut perlindungan maqashid al-syari’ah yang pada gilirannya bertujuan melindungi kemashlahatan manusia.
a.      Pembagian Maqashid Al-Syari’ah
Menurut Al-Syatibi, kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur pokok kehidupan manusia dapat diwujudkan dan dipelihara, yaitu :
·         Agama
·         Jiwa
·         Akal
·         Keturunan
·         Harta
Dalam kerangka ini, ia membagi maqashid menjadi tiga tingkatan, yaitu :
1.      Dharuriyat
Jenis maqashid ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan manusia di dunia dan di akhirat yang mencakup pemeliharaan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Jika kelima unsur itu diabaikan akan menimbulkan kerusakan di muka bumi serta kerugian yang nyata di akhirat kelak.
Sebagai contoh, pelaksanaan rukun Islam merupakan salah satu bentuk pemeliharaan eksistensi agama dan jiwa serta perlindungan terhadap eksistensi harta.
2.      Hajiyat
Jenis maqashid ini dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan, menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur pokok kehidupan manusia. Hajiyat pada dasarnya terfokus kepada pemenuhan kebutuhan manusia.
Sebagai contoh, berbagai aktivitas ekonomi yang bertujuan memudahkan kehidupan manusia (kemashlahatan) dan menghilangkan kesulitan bagi manusia diperbolehkan selagi kegiatan itu tidak melenceng dari aturan-aturan agama yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits Nabi.
3.      Tahsiniyat
“Berlomba-lombalah dalam melakukan kebaikan”, itulah kalimat ajakan agama Islam bagi umatnya untuk senantiasa melakukan amal shaleh dan kebaikan. Tujuan maqashid ini adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia. Perilaku ini lebih condong kepada sikap tingkah laku yang diperlihatkan saat melakukan suatu pekerjaan.
Contoh maqashid ini adalah berbicara sopan santun dalam berbicara dan bertindak serta pengembangan kualitas produksi dan hasil pekerjaan.
b.      Kolerasi Antara Dharuriyat, Hajiyat, dan Tahsiniyat
Dari hasil penelaahannya secara lebih mendalam, Al-Syatibi menyimpulkan kolerasi antara  dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat sebagai berikut:[3]
1.      Maqashid Dharuriyat merupakan dasar bagi maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat.
2.      Kerusakan pada maqashid dharuriyat akan membawa kerusakan pula pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat.
3.      Sebaliknya, kerusakan pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat tidak dapat merusak maqashid dharuriyat.
4.      Kerusakan pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat yang bersifat absolut terkadang dapat merusak maqashid dharuriyat.
5.      Pemeliharaan maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat diperlukan demi pemeliharaan maqashid dharuriyat secara tepat.
Tampaknya, dalam pandangan Al-Syatibi, maqashid dharuriyat sangat diutamakan dan menjadi pokok bagi maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat. Kedudukan maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat adalah sebagai penyempurna maqashid dharuriyat. Pengklasifikasian tersebut menunjukan betapa pentingnya pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia yang bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia.
Mustafa Anas Zarqa menyatakan bahwa segala aktifitas atau sesuatu yang bersifat tahsiniyat harus dikesampingkan jika bertentangan dengan maqashid yang lebih tinggi (dharuriyat dan hajiyat).
2.3  Beberapa Pandangan Al-Syatibi di Bidang Ekonomi
a.      Objek Kepemilikan
Al-Syatibi menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak.  Ia menegaskan bahwa air bukanlah objek kepemilikan dan penggunaannya tidak bisa dimiliki oleh seorangpun. Dalam hal ini, ia membedakan dua macam air, yaitu air yang tidak dapat dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air sungai dan oase; dan air yang bisa dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang tanah milik individu.[4]
Tidak ada hak bagi seorang pun untuk memiliki hak pemilikan sungai, karena sudah terbukti bahwa sungai merupakan sarana milik umum yang digunakan untuk memudahkan arus perairan. Menjaga dan memelihara yang bisa disebut sebagai maqashid tahsiniyat adalah kewajiban semua masyarakat, baik yang berada di sekitar sungai maupun yang tidak. Sebab jika diabaikan, maka akibatnya akan menimpa pada manusia kembali.
b.      Pajak
Menurut pandangan Al-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah (kepentingan umum). Dalam kondisi tidak mampu melaksanakan tanggung jawab ini, masyarakat bisa mengalihkannya kepada Baitul Mal serta menyumbangkan sebagian kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut.
2.4  Wawasan Modern Teori Al-Syatibi
Pemenuhan kebutuhan adalah tujuan aktifitas ekonomi, dan pencarian terhadap tujuan ini adalah kewajiban agama. Dengan kata lain, manusia berkewajiban untuk memecahkan berbagai permasalahan ekonominya. Oleh karena itu, problematika ekonomi manusia dalam perspektif Islam adalah pemenuhan kebutuhan (fulfillment needs) dengan sumber daya alam yang tersedia.
Konsep Maqashid al-Syari’ah mempunyai relevansi yang begitu erat dengan konsep motivasi. Bila motivasi dikaitkan dengan konsep maqashid al-syari’ah, jelas bahwa dalam pandangan Islam, motivasi manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam arti memperoleh kemashlahatan hidup di dunia dan akhirat.[5] Motivasi itupun harus diiringi dengan keoptimisan dan berprasangka baik pada Allah SWT. Keyakinan terhadap kuasa Allah akan mempermudah untuk memperoleh apapun yang diinginkan asalkan tidak keluar dari aturan-aturan agama yang tercantum dalam Al-Quran dan Hadist Nabi.
            Seorang individu akan terdorong untuk berperilaku bila terdapat suatu kekurangan dalam dirinya, baik secara psikis maupun psikiologis. Motivasi itu sendiri meliputi usaha, ketekunan dan tujuan.

2. Mengatur jalannya tujuan (melakukan tindakan-tindakan pemenuhan kebutuhan)
 
3. Kepuasan Kebutuhan ( pemenuhan kepuasan kebutuhan
 
             




Gambar 1 Proses Motivasi
            Dari bagan di atas, dapat dilihat bahwasanya ketika seseorang dalam ketidakpuasan terhadap sesuatu, dia akan terdorong oleh motivasi untuk berusaha lebih baik dengan mengatur dan melakukan tindakan-tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Usaha yang diiringi dengan ketekunan akan berbuah hasil yang memuaskan.
            Maslow berpendapat bahwa seorang individu baru akan beralih untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih tinggi jika kebutuhan dasarnya telah terpenuhi. Lebih jauh, berdasarkan konsep hierarchy of needs,   ia berpendapat bahwa garis hierarkis kebutuhan manusia berdasarkan sakala prioritasnya terdiri dari :
1.      Kebutuhan Fisiologi (Physiological Needs), mencakup kebutuhan dasar manusia, seperti makan dan minum. Dalam dunia manajemen, dapat diaplikasikan dalam hal pemberian upah atau gaji yang adil dan lingkungan kerja yang nyaman.
2.      Kebutuhan Keamanan (Safety Needs), mencakup kebutuhan perlindungan terhadap gangguan fisik dan kesehatan serta krisis ekonomi. Dalam dunia manajemen, dapat diaplikasikan dalam hal pemberian tunjangan, keamanan kerja dan lingkungan kerja yang nyaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar