Kamis, 02 Juni 2011

UMAR CHAPRA


A.H.Ridwan

M. Umer Chapra (1 Februari 1933, Bombay India) adalah salah satu ekonom kontemporer Muslim yang paling terkenal pada zaman modern ini di timur dan barat. Ayahnya bernama Abdul Karim Chapra. Chapra dilahirkan dalam keluarga yang taat beragama, sehingga ia tumbuh menjadi sosok yang mempunyai karakter yang baik. Keluarganya termasuk orang yang berkecukupan sehingga memungkinkan ia mendapatkan pendidikan yang baik.
Masa kecilnya ia habiskan di tanah kelahirannya hingga berumur 15 tahun. Kemudian ia pindah ke Karachi untuk meneruskan pendidikannya disana sampai meraih gelar Ph.D dari Universitas Minnesota. Dalam umurnya yang ke 29 ia mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Khairunnisa Jamal Mundia tahun 1962, dan mempunyai empat anak, Maryam, Anas, Sumayyah dan Ayman.
Dalam karier akademiknya DR. M. Umer Chapra mengawalinya ketika mendapatkan medali emas dari Universitas Sindh pada tahun 1950 dengan prestasi yang diraihnya sebagai urutan pertama dalm ujian masuk dari 25.000 mahasiswa. Setelah meraih gelar S2 dari Universitas Karachi pada tahun 1954 dan 1956, dengan gelar B.Com / B.BA ( Bachelor of Business Administration ) dan M.Com / M.BA ( Master of Business Administration ), karier akademisnya berada pada tingkat tertinggi ketika meraih gelar doktoralnya di Minnesota, Minneapolis. Pembimbingnya, Prof. Harlan Smith, memuji bahwa Chapra adalah seorang yang baik hati, mempunyai karakter yang baik dan kecemerlangan akademis. Menurut Profesor ini, Chapra adalah orang yang terbaik yang pernah dikenalnya, bukan hanya dikalangan mahsiswa namun juga seluruh fakultas.
DR. Umer Chapra terlibat dalam berbagai organisasi dan pusat penelitian yang berkonsentrasi pada ekonomi Islam. Saat ini dia menjadi penasehat pada Islamic Research and Training Institute (IRTI) dari IDB Jeddah. Sebelumnya ia menduduki posisi di Saudi Arabian Monetary Agency (SAMA) Riyadh selama hampir 35 tahun sebagai penasihat peneliti senior. Aktivitasnya di lembaga-lembaga ekonomi Arab Saudi ini membuatnya di beri kewarganegaraan Arab Saudi oleh Raja Khalid atas permintaan Menteri Keuangan Arab Saudi, Shaikh Muhammad Aba al-Khail. Lebih kurang selama 45 tahun beliau menduduki profesi diberbagai lembaga yang berkaitan dengan persoalan ekonomi diantaranya 2 tahun di Pakistan, 6 tahun di Amerika Serikat, dan 37 tahun di Arab Saudi. Selain profesinya itu banyak kegiatan ekonomi yang dikutinya, termasuk kegiatan yang diselenggarakan oleh lembaga ekonomi dan keuangan dunia seperti IMF, IBRD, OPEC, IDB, OIC dan lain-lain.
Beliau sangat berperan dalam perkembangan ekonomi Islam. Ide-ide cemerlangnya banyak tertuang dalam karangan-karangannya. Kemudian karena pengabdiannya ini beliau mendapatkan penghargaan dari Islamic Development Bank dan meraih penghargaan King Faisal International Award yang diperoleh pada tahun 1989.
Beliau adalah sosok yang memiliki ide-ide cemerlang tentang ekonomi islam. Telah banyak buku dan artikel tentang ekonomi islam yang sudah diterbitkan samapai saat ini telah terhitung sebanyak 11 buku, 60 karya ilmiah dan 9 resensi buku. Buku dan karya ilmiahnya banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa termasuk juga bahasa Indonesia.
Buku pertamanya, Towards a Just Monetary System, Dikatakan oleh Profesor Rodney Wilson dari Universitas Durham, Inggris, sebagai "Presentasi terbaik terhadap teori moneter Islam sampai saat ini" dalam Bulletin of the British Society for Middle Eastern Studies (2/1985, pp.224-5). Buku ini adalah salah satu fondasi intelektual dalam subjek ekonomi Islam dan pemikiran ekonomi Muslim modern sehingga buku ini menjadi buku teks di sejumlah universitas dalam subjek tersebut.
Buku keduanya, Islam and the Economic Challenge, di deklarasikan oleh ekonom besar Amerika, Profesor Kenneth Boulding, dalam resensi pre-publikasinya, sebagai analisis brilian dalam kebaikan serta kecacatan kapitalisme, sosialisme, dan negara maju serta merupakan kontribusi penting dalam pemahaman Islam bagi kaum Muslim maupun non-Muslim. Buku ini telah diresensikan dalam berbagai jurnal ekonomi barat. Profesor Louis Baeck, meresensikan buku ini di dalam Economic Journal dari Royal Economic Society dan berkata: “ Buku ini telah ditulis dengan sangat baik dan menawarkan keseimbangan literatur sintesis dalam ekonomi Islam kontemporer. Membaca buku ini akan menjadi tantangan intelektual sehat bagi ekonom barat. “ ( September 1993, hal. 1350 ). Profesor Timur Kuran dari Universitas South Carolina, mereview buku ini dalam Journal of Economic Literature untuk American Economic Assosiation dan mengatakan bahwa buku ini menonjol sebagai eksposisi yang jelas dari keterbukaan pasar Ekonomi Islam. Kritiknya terhadap sistim ekonomi yang ada secara tidak biasa diungkap dengan pintar dan mempunyai dokumentasi yang baik. Chapra, menurutnya telah membaca banyak tentang kapitalisme dan sosialisme sehingga kritiknya berbobot. Dan, Profesor Kuran merekomendasikan buku ini sebagai panduan sempurna dalam pemahaman ekonomi Islam.
Pendapat M. Umer Chapra terhadap ekonomi Islam pernah dikatakannya dan didefinisikannya sebagai berikut: Ekonomi Islam didefinisikan sebagai sebuah pengetahuan yang membantu upaya realisasi kebahagiaan manusia yang berada dalam koridor yang mengacu pada pengajaran Islam tanpa memberikan kebebasan individu atau tanpa perilaku makro ekonomi yang berkesinambungan dan tanpa ketidakseimbangan lingkungan.
Karya-karya Umer Chapra adalah Toward a Just Monetary System (1985), Islam and Economic Challenge (1992), Islam and the Economic Development (1994), The Future of Economics; an Islamic Perspective (2000).

2.2. EKONOMI KONVENSIONAL MENURUT PANDANGAN UMAR CHAPRA

Menurut Umar Chapra, ilmu ekonomi konvensional yang selama ini mendominasi pemikiran ilmu ekonomi modern, telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang sangat maju dan bahkan terdepan. Dampak yang lebih mengagumkan lagi dari akselerasi perkembangan di Negara-negara industry Barat adalah tersedianya sumber-sumber kajian substansial bagi para pakar untuk membantu program riset mereka.
Ilmu ekonomi konvensional telah dibangun oleh dua himpunan tujuan yang berbeda. Salah satunya disebut tujuan positif, yang terhubung erat dengan usaha realisasi secara efesien dan adil dalam proses alokasi dan distribusi sumber daya yang terbatas. Dan tujuan lain disebut dengan tujuan normative yang di ekspresikan dengan usaha penggapaian secara universal tujuan social ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan hidup dan lain-lain.
Tiga konsep penting yang menjadi pilar-pilar dasar ilmu ekonomi konvensional adalah:
1. Rational economic man. Ilmu ekonomi konvensional sangat dipengaruhi oleh asumsi bahwa tingkah laku individu adalah rasional. Dalam kerangka berfikir seperti ini, masyarakat dikonseptualisasikan sebagai sebuah kumpulan dari individu-individu yang diikat pemenuhan nafsu pribadi.
2. Positivisme. Positivism mengesampingkan peran nilai moral sebagai alat filterisasi dalam alokasi dan ditribusi sumber daya.
3. Hukum Say. Hukum say menyebutkan bahwa sebagaimana alam semesta, ilmu ekonomi akan berjalan secara baik apabila dibiarkan lepas sekehendaknya. Proses produksi akan mencipakan kekuatan permintaannya sendiri, dan tidak akan terjadi kelebihan produksi ataupun pengangguran. Hal ini, akan membawa pada konsep laissez faire, sebuah konsep yang menolak intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar.

Dalam kapasitasnya sebagai pakar ekonomi ditambah dengan berbagai pengalaman praktis sebagai penasehat di bidangnya, beliau menangkap dua persoalan mendasar, yaitu pertama sebuah phenomena sosioekonomi, bahwa menurut perkembangannya system ekonomi konvensional –walaupun telah mencapai tingkat sofitikasi intelektual yang sangat besar- telah gagal dalam mewujudkan kesejahteraan ekonomi umat manusia. Kegagalan tersebut, menurut Chapra kemungkinan disebabkan karena;
1. Terletak pada anatemanya terhadap penilaian (value judgement) dan penekanan yang berlebihan pada maksimalisasi kekayaan dan pemuasan keinginan serta pengumbaran kepentingan individual. Sejauh yang dikaitkan dengan kepentingan social, para ekonom konvensional pada umumnya menganggap bahwa persaingan akan membantu menggerakkan kepentingan diri sendiri dan pada gilirannya memenuhi kepentingan sosial.
Di sinilah timbul persoalan apakah maksimalisasi kekayaan dan pemuasan keinginan adalah hal yang benar-benar diperlukan untuk mengoptimalkan kesejahteraan umat manusia atau masih juga diperlukan adanya kedamaian mental dan kebahagiaan, solidaritas social dan keluarga, pengasuhan yang mencukupi bagi anak-anak, pemenuhan kebutuhan pokok bagi semua individu dalam masyarakat, dan distribusi kekayaan yang adil. Jika semua masalah ini penting, persoalannya adalah apakah pelampiasan kepentingan diri oleh tiap-tiap individu secara optomatis akan membantu realisasinya.
2. Adanya anathema ilmu ekonomi konvensional terhadap penilaian dan penekanannya yang berlebihan pada maksimalisasi kekayaan dan pemuasan kepentingan serta pengumbaran kepentingan diri sendiri (self-interest) merupakan suatu pelarian yang jelas dari filosofi dasar mayoritas agama. Agama-agama pada umumnya berpendapat bahwa kemakmuran meteriil, sekalipun sangat penting tetapi tidak cukup dapat menggerakkan kepentingan diri sendiri dan menjamin kepentingan social atau mencegah timbulnya bentuk-bentuk tindakan yang salah dan ketidakadilan. Terdapat banyak cara yang halus untuk menghindari persaingan yang tidak sehat, demikian juga cara menghindari penangkapan dan hukuman akibat tindakan tersebut, tanpa selalu mengandalkan kekuatan paksa negara. Usaha apapun yang mengandalkan lebih banyak pada Negara dalam mencegah tindakan-tindakan yang salah tidak saja akan meningkatkan ongkos pemerintah, melainkan juga akan menciptakan suatu pemerintahan totalitarian. Oleh karena itu, nilai-nilai moral memiliki nilai penting dalam masyarakat manusia untuk mencegah tindakan-tindakan yang salah dan ketidakadilan serta menunbuhkembangkan kesejahteraan.
Oleh karena itu, perkembangan ilmu konvensional yang semata-mata mengambil variabel-variabel ekonomi dalam menjelaskan jatuh bangunnya suatu masyarakat sangatlah tidak sehat, selanjutnya menurut Chapra disamping variabel-variabel ekonomi, perlu juga memasukkan factor-faktor moral psikologis, social, dan sejarah yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia.

2.3. ILMU EKONOMI ISLAM MENURUT PANDANGAN UMAR CHAPRA

Paradigma ilmu ekonomi yang ditawarkan Islam sangat berbeda dengan ilmu ekonomi konvensional. Paradigma Islam bukanlah sekuler, bebas nilai, materialis, dan mengedepankan Darwinisme-sosial yang menutup mata terhadap kemiskinan dan pengangguran hanya karena memuaskan kepentingan sendiri. Paradigma ilmu ekonomi Islam mendasarkan pada kenyataan pokok, alam semesta diciptakan oleh Yang Maha Tunggal. Manusia menjadi wakil-Nya di muka bumi. Mereka bersaudara, dan tidak ada yang membedakan satu dengan yang lain lantaran ras, kekayaan, jenis kelamin, kebangsaan maupun kekuatan.
Dunia dimaklumi sekedar sebagai tempat persinggahan sementara. Sementara yang lebih kekal adalah alam akherat. Kesejahteraan di akherat sangat ditentukan oleh cara-cara manusia semasa mereka hidup. Kesejahteraan hakiki dalam kerangka syariah tidak melulu direalisasikan dengan mengkonsentrasikan diri pada upaya maksimasi kekayaan dan konsumsi, ia juga memerlukan pemenuhan kebutuhan material dan spiritual yang seimbang.

A. Prinsip-prinsip Paradigma Islam
Para ulama Islam telah menyepakati bahwa salah satu tujuan terpenting syari’ah adalah mengurangi kesulitan dan berusaha untuk menjadikan hidup setiap manusia lebih nyaman (QS. Al-Baqarah : 2 ayat 185).
a. Rational Economic Man
Mainstream pemikiran Islam sangat jelas dalam mencirikan tingkah laku rational yang bertujuan agarmampu mempergunakan sumber daya karunia Allah dengan cara yang dapat menjamin kesejahteraan duniawi individu. Kekayaan menurut Islam akan membangkitkan berbuat salah satu atau mengajak pada pemborosan, keangkuhan dan ketidakadilan yang baru dikecam keras. Sedangkan kemiskinan telah dianggap sebagai hal tidak disukai karena menimbulkan ketidakmampuan dan kelemahan.
b. Positivisme
Paradigma Islam, seperti ilmu ekonomi konvensional, juga menekankan seseorang untuk bersikap rasional. Bahkan, itu menjadi salah satu tujuan terpenting dari syariah. Doktrin yang sangat terkenal adalah mengurangi kesulitan dan berusaha untuk menjadikan hidup manusia lebih nyaman (Quran 2:185). Karena dorongan ini, Islam menyilakan siapapun untuk menjadi kaya dengan rasionalitasnya.
Hanya, satu yang harus dicatat mereka, kekayaan itu diperoleh dengan cara yang benar, tidak menzhalimi siapapun, dan dipergunakan atau diinvestasikan secara produktif untuk memenuhi kebutuhan seseorang atau kebutuhan orang lain dengan cara yang adil.
Inilah yang tidak bisa dipenuhi oleh mekanisme pasar. Almawardi sebagaimana ilmuwan Islam lain seperti Ibnu Khaldun menganggap, perlunya tekad untuk mengekang keinginan pribadi melalui nilai-nilai moral. Melalui nilai moral, akan menghilangkan asa saling permusuhan dan iri hati, memperkuat solidaritas kelompok dan mendorong kebajikan.
Karena itu, hampir tidak ditemukan jejak dalam perkembangan ilmu ekonomi Islam yang melandaskan pijakan pada sikap positivisme–satu dari sendi penting ekonomi konvensional. Positivisme atau bebas nilai dari etika atau pertimbangan-pertimbangan normatif, bertentangan dengan kondisi bahwa apa yang dikuasai manusia hanyalah sekedar titipan-Nya. Seluruh sumber daya adalah amanah dari Tuhan dan karenanya, manusia akan dimintai pertanggungjawabannya kelak.
c. Keadilan
Karena sumber daya hanyalah titipan, maka penggunaaan sumber daya yang salah akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan lain bagi pelaku ekonomi dalam melakukan aktivitas bisnisnya untuk selalu mendasarkan pada keadilan. Nilai keadilan dalam Al-Quran maupun hadis Nabi bahkan menjadi salah satu tujuan pokok syariah. Harun As-Rasyid mengatakan bahwa memperbaiki kesalahan dengan menegakan keadilan dan mengikis ketidakadilan akan meningkatkan pendapatan pajak, mengeskalasi pembangunan Negara, serta akan menambah berkah kebajikan di akhirat. Ibnu Khaldun juga mengatakan bahwa mustahil bagi sebuah Negara dapat berkembang tanpa keadilan.
d. Pareto Optimum
Dalam Islam penggunaan sumber daya yang palin efisien diartikan dengan muqashid. Setiap perekonomian dianggap telah mencapai efisiensi yang optimum bila telah menggunakan seluruh potensi sumber daya manusia dan materi yang terbatas sehingga kualitas barang dan jasa maksimum dapat memuskan kebutuhan.
e. Intervensi Negara
Al-Mawardi telah mengatakan bahwa keberadaan sebuah pemerintahan yang efektif sangat dibutuhkan untuk mencegah kedzaliman dan pelanggaran. Nizam al-Mulk menyebutkan bahwa tugas dan tanggung jawab Negara atau penguasa adalah menjamin keadilan dan menjalankan sesuatu yang penting untuk meraih kemakmuran masyarakat luas.

B. Keuangan Publik
a. Zakat
Zakat merupakan kewajiaban religius bagi seorang muslim sebagaimana shalat, puasa dan naik haji, yang harus dikeluarkan sebagai proporsi tertentu terhadap kekayaan atau output bersihnya. Hasil zakat ini tidak bias dibelanjakan oleh pemerintah sekehendaknya hati sendiri. Namun demikian pemerintah Islam harus tetap menjaga dan memainkan peranan penting dalam memberikan kepastian dijalankannya nilai-nilai Islam.
Agar zakat memainkan peranannya secara berarti, sejumlah ilmuan menyarankan bahwa zakat ini seharusnya menjadi sulemen pendapatan yang permanen hanya bagi orang-orang yang tidak mampu menghasilkan pendapatan yang cukup melalui usaha-usahanya sendiri. Zakat dipergunakan hanya untuk menyediakan pelatihan dan modal unggulan, baik sebagai kredit yang bebas bunga ataupun sebagai bantuan untuk membuat mereka mampu membentuk usaha-usaha kecil sehingga dapat berusaha mandiri.
b. Pajak lainnya
Dengan dijadikannya hasil penerimaan zakat terutama untuk menyediakan jaring pengamanan ekstra, pemerintah Islam membutuhkan sumber daya lain agara dapat menjalankan fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi secara efektif. Sumber daya atau pendapatan yang diperoleh pada masa Nabi dan para sahabatnya bias bersumber dari pajak seperti kharaj, ushr, jizyah, fa’I, ghanimah, dan tarif cukai lainnya. Perekonomian pada masa itu bertumpu pada pertanian, oleh karenanya, pajak seperti hharaj dan ushr merupakan pajak utama atas output-output pertanian.
Namun demikian para ulama klasik justru tidak membolehkan pemungutan pajak. Alasan karena pemerintahnya korup. Dengan mengijinkan pemerintah memungut pajak maka menurut mereka cenderung memperkuat pemerintahan yang korup.
Untungnya sejumlah ulama yang terkenal telah menyadari hak pemererintahan Islam untuk mendapatkan sumber dananya melalui pajak agar ia mampu menjalankan fungsinya secara efektif. Al-Qardhawi berpendapat bahwa karena tanggung jawab pemerintah sangat meningkat sepanjang waktu, “ dari mana pemerintah akan melakukan pembiayaan jika ia tidak diijinkan untuk memungut pajak.” Dengan demikian perlu dirancang suatu system perpajakan yang disesuaikan dengan perubahan keadaan. Para cendikiawan menganggap bahwa pajak langsung lebih memberikan keadilan di dalam pandangan Islam. Hasan Al-Banna, al-Qardhawi dan al-‘Abbadi menganggap bahwa system pajak yang progresif benar-benar selaras dengan etos Islam, karena system ini membantu mengurangi ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan.
Para ulama klasik hanya mendukung pemberlakuan pajak yang adil dan selaras dengan semangat Islam. System pajak yang mereka anggap adil paling tidak harus memenuhi tiga kriteria yaitu:
Pertama, pajak harus dipungut untuk membiayai hal yang benar-benar dianggap perlu dan untuk kepentingan mewujudkan maqashid;
Kedua, beban pajak tdak boleh terlalu memberatkan dibandingkan dengan kemampuan orang untuk memikulnya;
Ketiga, hasil pajak harus dibelanjakan secara hati-hati sesuai dengan tujuan awal pengumpulan pajak tersebut.

C. Prinsip Pembelanjaan
Ada prinsip umum untuk membantu memberikan dasar yang rasional dan konsisten mengenai belanja public, yaitu:
1. Criteria utama untuk semua alokasi pengeluaran adalah kesejahteraan masyarakat.
2. Penghapusan kesulitan hidup dan penderita harus diutamakan di atas penyediaan rasa tentram.
3. Kepentingan mayoritas harus didahulukan di atas kepentingan otoritas yang lebih sedikit.
4. Pengorbanan individu dapat dilakukan untuk menyelamatkan pengorbanan atau kerugian public.
5. Siapapun yang menerima manfaat harus menanggung biayanya.
6. Sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tidak dapat terpenuhi juga merupakan suatu kewajiban untuk pengadaannya.

Beberapa ulam klasik menentang keras pemerintah berutang karena adanya salah urus dari pembiayaan public yang lazim terjadi pada masa mereka. Mereka menetapkan suatu kondisi dimana pemerintah tidak boleh meminjam kecuali ada ekspektasi mengenai pendapatan yang akan menjamin pembayaran utangnya kembali. Meski diperbolehkan secara prinsip oleh syari’ah mencari pinjaman untuk membiayai deficit anggaran namun hatus dihindarkan.
D. Kebijakan Moneter
Instrument kebijakan moneter terdiri atas enam elemen yaitu:
1. Target pertumbuhan dalam M dan Mo
2. Saham Publik Terhadap Deposito Unjuk (Uang Giral)
3. Cadangan Wajib resmi
4. Pembatasan Kredit
5. Alokasi Kredit yang Beralokasi pada Nilai
6. Teknik yang lain (konyak personal, konsultasi dan rapat-rapat dengan bank komersial)
Instrument lain yang juga terdapat dalam literature perbankan Islam diantaranya adalah :
1. Membeli dan menjual saham dan sertifikasi bagi hasil untuk menggantikan obligasi pemerintah dalam opersi pasar.
2. Rasio pemberian kembali pembiayaan.
3. Rasio pemberian pinjaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar